Gadis itu duduk menghadap lautan. Baginya, senja selalu sama. Laut selalu sama. Menghadirkan cerita yang dulu pernah ia alami dalam hidupnya. Ingatan itu terus muncul tiap kali ia menjejakkan tanahnya di pasir pantai. Sosok itu selalu hadir tiap ia menghirup angin laut. Gemuruh ombak seolah meneriakkan namanya. Berkali-kali di telinganya. Senja ini senja kesekian. Senja yang sama. Hanya saja tempatnya yang berbeda.
Airnya sama. Ombaknya barangkali yang berbeda. Ombak di sini lebih keras dari ombak di sana. Ombak yang membawa orang itu kembali ke hadapannya. Ia tahu. Hal ini bukanlah kenyataan. Ia tahu, semuanya sudah tertinggal bertahun-tahun silam. Hanya saja, perasaan itu selalu mengusik hatinya. Tiap kali ia menikmati senja. Tiap ia berada di tempat ini. Tempat yang harusnya membuatnya tenang. Tempat yang dulu sangat ia cintai.
Dua orang remaja berjalan bersisian. Di atas pasir putih. Di tepi sebuah pantai dengan ombak yang dengan keras terus menghempas karang di sekeliling lautan itu. Gadis yang berjalan di sebelah kiri berlarian di atas pasir. Sementara laki-laki yang bersamanya sibuk dengan kamera di tangannya. Mengabadikan apa-apa yang ada di pantai itu. Pemandangan di pantai itu memang mengagumkan. Air laut yang dipenuhi ombak bergulung-gulung. Pasir halus yang nyaman sebagai pijakan. Barisan karang yang menjulang tinggi, seperti dinding untuk melindungi lautan itu.
Laki-laki itu duduk di atas sebuah batu.
“Gimana hubungan kamu sama Ian, Ra?”
Gadis itu menoleh. “Baik-baik saja.” Katanya datar. Duduk di samping teman laki-lakinya.
“Kamu pasti bahagia ya bersama dia?”
Gadis yang dipanggil Ra itu hanya diam. Memandang laki-laki itu sejenak, kemudian membuang muka. Menatap ombak yang masih semangat menghantam karang.
“Dia beruntung bisa mendapatkan hati kamu, Ra.” Laki-laki itu memandang Ra. Lama. Tersenyum. Ra sedikit salah tingkah mendengar perkataan Dion.
“Sebenarnya Ra.. Seandainya kita bisa seperti dulu..”
Ra menatap Dion. Ia mulai gusar. Ia mulai takut dengan pembicaraan ini. Dion tahu, saat ini Ra sedang menjalin kisah dengan Ian. Sudah satu tahun lebih Ra bersama Ian. Dion pasti tahu itu. Ra juga sadar betul dengan apa yang sedang dijalaninya. Tapi Ra juga tahu persis. Dalam hatinya. Jauh di dalam sana, masih ada Dion. Ra yakin bahwa ia belum bisa melupakan Dion sepenuhnya. Meskipun cerita itu sudah berlalu dua tahun yang lalu. Tapi Ra masih memendam perasaan yang sama pada Dion. Ra belum bisa menghapus rasa itu.
Ra tahu, itu tak benar. Tak seharusnya ia seperti itu. Apalagi saat ini, sudah ada Ian. Tak semestinya Ra memendam perasaan pada laki-laki lain. Ra tahu hal ini akan sangat menyakiti hati dan perasaan Ian. Tapi Ra tak bisa berbohong pada dirinya. Ra masih menyayangi Dion. Masih sama. Seperti dua tahun lalu. Itulah mengapa Ra selalu takut tiap kali berada di dekat Dion. Takut tak bisa mengendalikan dirinya. Takut perasaan itu menyeruak di antara tatapan-tatapan matanya.
“Ra..”
Ra menoleh. sedikit terkejut. ‘Ah, mengapa pula aku harus berhadapan denganmu?’ batin Ra.
“Sebenarnya, aku masih sayang sama kamu, Ra.” Ra hanya diam. Sebenarnya ia juga tahu hal itu. Dari cara Dion memandangnya. Cara Dion memperhatikan dirinya.
‘Oh Tuhan, bagaimana ini? Jantungku!’ batin Ra sibuk mengendalikan diri.
“Ehm, bukannya kamu lagi deket sama saudara sepupuku?”
Ya. Kenyataan satu ini cukup menyakitkan bagi Ra. Laki-laki yang pernah mengisi hatinya -hingga saat ini- justru dekat dengan saudaranya. Ra tidak tahu harus berkata apa. Ra tahu ia tak berhak menentang mereka. Dion bukan siapa-siapa lagi untuk Ra. Tak lebih dari teman.
Dion menarik napas. “Kami hanya teman, Ra. Sungguh.”
“Yang benar? Ku dengar kamu menyukainya?”
“Iya suka. Tapi hanya sebagai Adik, dan teman. Tidak lebih.”
“Oh.”
“Aku serius, Ra. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Dea. Kami hanya berteman. Hatiku masih menyimpan rasa yang sama untuk kamu, Ra. Seperti dua tahun lalu.”
Ra menghela napas. Matanya sibuk menatap sekeliling pantai. Tak ingin beradu pandang dengan Dion. Perasaannya benar-benar kacau. Dion. Ian. Dea. Ra. Arghh!
“Ra.. jangan diam saja. Aku lagi ngomong sama kamu.”
“Hmm. Terus aku harus gimana? Kamu kan tahu sendiri situasinya sekarang seperti apa?” Ra mulai geram. Semudah itukah masalah ini bagi Dion?
“Aku tahu, Ra. Kamu nggak mungkin ninggalin Ian. Kamu pasti lebih milih dia. Dia yang lebih dari aku. Dia yang bisa buat kamu bahagia.”
“Hmm..”
“Tetapah seperti ini, Ra. Jangan pedulikan aku. Aku cuma mau bilang itu aja. Semoga kamu bahagia dengan Ian.”
Astaga! Seperti itukah laki-laki yang Ra cintai selama ini? Seperti itukah laki-laki yang membuatnya tak bisa lupa meski sudah lama kisah itu berakhir? Seperti itukah laki-laki yang membuat hatinya mengkhianati orang yang saat ini sedang menggantungkan hati padanya? Ra tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Dion. Laki-laki itu.. Ah! Ra sudah kehabisan kata-kata. Berbulan-bulan hatinya digantung oleh laki-laki itu. Dion sangat senang menarik ulur perasaan Ra. Hari ini Dion berkata seperti ini. Mendekati Ra, meminta Ra tinggal di sisinya. Tapi esoknya, tiba-tiba Dion hilang begitu saja. Tanpa kabar. Tanpa penjelasan.
Seperti waktu itu. Dion berkata bahwa ia masih menyimpan perasaan yang sama pada Ra. Dion pun berharap bahwa mereka bisa seperti dulu lagi. Hari itu. Ra lupa pada Ian. Ra lupa pada janjinya untuk Ian. Ra lengah. Ia tak bisa mengendalikan dirinya. Ra hanya peduli bahwa saat itu ia sedang bersama Dion. Ra menikmati satu hari itu. Meski Ra tahu, ada penyesalan di hati Ra. Mengapa ia melakukan hal itu, sementara di sana Ian sedang menunggunya.
Ra lebih menyesal lagi. Ra kecewa pada Dion. Setelah satu hari di pantai itu, Dion pergi begitu saja. Hilang. Tanpa kabar. Tanpa penjelasan. Ra bingung, apa sebenarnya yang diinginkan Dion. Ra sempat beripikir bahwa Dion akan sungguh-sungguh memintanya berada di sisinya. Ra berpikir Dion akan mengajak Ra merencanakan masa depannya. Ra kira.. Ah, mengira-ngira memang melelahkan. Ra benci. Pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu mudah terjatuh dalam permainan yang dibuat Dion. Ra marah. Mengapa Dion setega itu padanya. Sementara Dion tahu bahwa ada hati yang harus dijaga oleh Ra. Tapi mengapa Dion seolah tak peduli. Mengapa Dion hanya mementingkan kemauannya sendiri.
Angin bertiup lembut. Gemuruh ombak menghantam barisan karang, bergulung-gulung di tengah riak air. Matahari jingga di kejauhan, berjalan menuju persembunyiannya. Malu pada bulan yang tersenyum di atas sana. Gadis itu masih diam, terpaku di tempatnya. Tak peduli dengan keindahan yang tersaji di depannya.
“Kamu tidak pernah berubah, Dion. Kamu suka membuat orang terbang setinggi awan, kemudian kamu jatuhkan ke dasar jurang.”
Satu titik air mata jatuh ke pipi Ra. “Dan aku pun masih sama. Menjadi orang bodoh yang terus memikirkanmu. Meski tahu, kamu tak akan kembali lagi, dan memintaku bertahan di sisimu.”
Ra tersenyum. Getir. Air mata terus mengalir sepanjang sore itu. Ditengahi deru ombak. Matahari senja di seberang sana tersenyum padanya. Prihatin.