a. Apa yang dimaksud psikologi pembelajaran matematika? Jelaskan!
Pertama kita harus mengetahui dahulu apa itu PSIKOLOGI, apa itu
PSIKOLOGI PEMBELAJARAN, dan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Yang saya
ketahui makna dari PSIKOLOGI adalah studi ilmiah tentang prilaku dan
proses mental , sedangkan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN adalah Pembelajaran
antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik
cabang psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran,
pembelajran, dalam lingkungan pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran
matematika terutama adalah bagaimana seseorang belajar, tentang
bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan
tentang bagaimana orang tersebut bisa berkembangan. Pengertian tersebut
dinyatakan oleh Resnick dan Ford (1984:3) yaitu: “Most people know
psychology is concerned with how people learn, with how they perform
tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik dan Ford
mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran
matematika, diantaranya:
*
Daripada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana seseorang
berfikir ketika ia sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak
mengkaji bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan
matematika?
*
Daripada hanya membahas atau mengkaji bagaimana pemahaman konsep dapt
berkembang di benak siswa, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana tentang
bagaimana pemahaman konsep matematika dapat berkembang dibenak siswa?
Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4)
adalah ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan
matematika itu sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu
berfikir (think), bernalar (reason), dan bagaimana ia menggunakan
kemampuan intelektualnya tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli
pembelajaran matematika muncul, diantara nya Resnick dan Ford yang telah
menulis buku “The Psyhology of Mathematics for Instruction” dan juga
Orton yang menulis buku “Learning Mathematics”. Kedua buku tersebut
membahas teori belajar yang langsung dikaitkan dengan materi
matematika.
b. Jelaskan secara singkat, tentang hakikat pembelajaran matematika!
Sebelum saya menjelaskan secara singkat tentang hakikat
pembelajaran matematika , terlebih dahulu kita harus memahami apa itu
matematika dan apa itu hakikat matematika. Kata matematika berasal dari
perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani
mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal
katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science).
Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama,
yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi,
berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu
pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih
menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari
hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena
pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan
penalaran (Russeffendi ET, 1980 :148). Matematika terbentuk dari
pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman
itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan
penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk
konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk
itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat,
maka digunakan bahasa matematika atua notasi matematika yang bernilai
global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir,
karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Hakekat
matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur
dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir
deduktif. Belajar matematika tidak ada artinya jika hanya dihafalkan
saja. Dia baru mempunyai makna bila dimengerti. Orton (1991: 154)
mengemukakan bahwa hendaknya siswa tidak belajar matematika hanya dengan
menerima dan menghafalkan saja, tetapi harus belajar secara bermakna,
belajar bermakna merupakan suatu cara belajar dengan pengertian dari
pada hafalan. Soedjadi (1985) menyatakan bahwa untuk menguasai
matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak
dan bersinambungan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hudojo (1988:
4) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah bertahap,
berurutan, serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Lebih
lanjut dikatakan bahwa proses belajar matematika akan terjadi dengan
lancar bila belajar itu dilakukan secara kontinu. Hudojo (1988: 1)
mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam
diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan
perubahan tingkah laku. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mendifinisikan
belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam
interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan
dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Slameto
(1980: 2) mengemukakan bahwa secara psikologis belajar merupakan suatu
proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya lebih jauh dikatakan bahwa perubahan tingkah laku
dalam belajar adalah: (1) perubahan ini terjadi secara sadar, (2)
perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, (3) perubahan
dalam belajar bersifat/bernilai positif dan aktif, (4) perubahan dalam
belajar bukan bersifat sementara, dan (5) perubahan belajar bertujuan
dan terarah. Sedang Rusyan (1989: 8) mengemukakan pendapatnya tentang
belajar, sebagai berikut: belajar dalam arti yang luas adalah proses
perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,
penggunaan, dan penilaian mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan
dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau
lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang
terorganisasi. Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat
positif dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan
oleh belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya
bertambahnya pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap.
Salah satu contoh hasil dari usaha belajar Bilangan Pecahan adalah dari
belum memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan menjadi memiliki
pengetahuan tentang Bilangan Pecahan.
c.
Jelaskan kegunaan/manfaat "hakikat matematika dan psikologi pembelajaran
matematika" dalam memberikan fasilitas belajar siswa!
Dapat kita simpulkan dari penjelasan sebelumnya , bahwa manfaat
hakikat matematika dan psikologi pembelajaran matematika diantaranya
adalah siswa dapat menyelesaikan permasalahan dan kegiatan dalam hidup
yang diselesaikan dengan menggunakan Ilmu Matematika seperti menghitung,
mengukur, dan lain-lain. Matematika digunakan manusia untuk memecahkan
masalahnya dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh :
~ Matematika
sebagai Ilmu yang lain, misal pada biologi, fisika dan lain-lain ~
Matemtika dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misal pada
perdagangan, pengukuran, ramalan / perkiraan, statistika, dan sebagainya
~ Memecahkan persoalan dunia nyata
~
Mengadakan transaksi jual beli, maka manusia memerlukan proses
perhitungan matematika yang berkaitan dengan bilangan dan operasi
hitungnya
~ Menghitung luas daerah
~ Menghitung jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain
~
Menghitung laju kecepatan kendaraan Menyadari akan peran penting
matematika dalam kehidupan, maka matematika selayaknya merupakan
kebutuhan dan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Sebagaimana dari
tujuan yaitu melatih siswa berfikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan, mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi,
penemuan, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba, mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah dan mengembangkan kemampuan
mengkomunikasikan gagasan atau ide melalui tulisan, pembicaraan lisan,
catatan, grafik peta atau diagram. Oleh karena itu setiap siswa perlu
memiliki penguasaan matematika yang merupakan penguasaan kecakapan
matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya.
2.
Belajar matematika melibatkan suatu hirarki dari konsep-konsep tingkat
lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk
sebelumnya. Jadi, asumsi ini berarti konsep-konsep matematika tingkat
lebih tinggi tidak mungkin bisa diajarkan bila prasyarat yang mendahului
konsep-konsep itu belum dipelajari
a. Apa yang dimaksud Hirarki Belajar Matematika? Jelaskan!
Sebelum saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hirarki
Belajar Matematika , terlebih dahulu kita harus mengetahui Apa itu
Hirarki Belajar , nah berikut penjelasan berdasarkan pengetahuan dan
sumber yang saya dapatkan Apa itu Hirarki Belajar? Para guru matematika,
fisika, kimia, bahasa inggris ataupun mata pelajaran lainnya tentunya
sudah mengalami sendiri bahwa satu Standar Kompetensi diajarkan
mandahului Standar Kompetensi lainnya, dan satu Kompetensi Dasar
diajarkan mandahului Kompetensi Dasar lainnya. Pada dasarnya,
pengetahuan yang lebih sederhana harus dikuasai para siswa terlebih
dahulu dengan baik agar ia dapat dengan mudah mempelajari pengetahuan
yang lebih rumit. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa suatu
Standar Kompetensi harus diajarkan mendahului Standar Kompetensi
lainnya? Atas dasar apa penentuan itu? Apakah hanya didasarkan pada kata
hati para guru dan pakar saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
Gagne memberikan alasan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran
dengan selalu menanyakan pertanyaan ini: “Pengetahuan apa yang lebih
dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu
pengetahuan tertentu?”. Setelah mendapat jawabanya, ia harus bertanya
lagi seperti pertanyaan yang di atas tadi untuk mendapatkan prasarat
yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari
pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapatkan urut-urutan
pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
Dengan cara seperti itulah kita akan mendapatkan hirarki belajar. Apa
yang dipaparkan di atas dapat diperjelas dengan tulisan Resnick dan Ford
(1984) berikut ini: “A hierarchy is generated by considering the target
task and asking: “ What would (this child) have to know and how to do
in order to perform thisk task…?” Karena itu, hirarki belajar menurut
Gagne harus disusun dari atas ke bawah atau top down (Orton,1987).
Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun keterampilan
yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari
hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan, ketrampilan, atau
pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka kuasai lebih
dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau pengetahuan di
atasnya itu. Hirarki belajar dari Gagne memungkinkan juga prasyarat yang
berbeda untuk kemampuan yang berbeda pula (Orton, 1987). Sebagai
contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsepkonsep
terdefinisi sebagai prasyaratnya, yang membutuhkan konsep konkret
sebagai prasyarat berikutnya, yang masih membutuhkan kemampuan
membedakan (discriminations) sebagai prasyarat berikutnya lagi. b.
Buatlah contoh implementasi hirarki belajar matematika pada salah satu
konsep matematika SMP/SMA/Perguruan Tinggi! Contoh yang saya ambil
disini adalah Seorang siswa SMP yang baru belajar mengalikan dua
bilangan antara 10 sampai 100 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal
seperti dapat menulis dan membilang angka 10 sampai 00 secara berurutan.
Di samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda
dengan tepat. Menurut seorang guru SD, sering terjadi seorang anak,
ketika membilang dengan benda konkret, ia mengucapkan “empat” padahal
jarinya menunjuk benda ketiga atau malah benda kelima. Di tingkat
perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin mempelajari
integral rangkap tiga jika ia tidak memiliki bekal yang cukup tentang
integral biasa. Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku SMP. Di
samping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit.
Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap
guru matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para
guru matematika bahwa di saat menemui para siswa yang mengalami
kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jernih dalam
menetapkan penyebab kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat
menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu alat
pentingnya. Sekali lagi, seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau
menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan
prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses
pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi
kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan
memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup,
penulis ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat,
namun sangat mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di
masa yang akan datang.
3. Prinsip dan karakteristik belajar menurut Aisubel adalah belajar bermakna dan belajar hafalan.
a.
Apa perbedaan belajar bermakna dan belajar hafalan? Manakah yang lebih
baik untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika? Beri alasan!
Belajar Bermakna : Belajar bermakna adalah belajar di mana
siswa harus mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam
bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar. Ausubel (dalam
Dahar, 1988) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui
mekanisme biologi tentang memori atau disimpankannya pengetahuan, kita
mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam
otak. Seorang guru biologi dalam mengajarkan konsep-konsep biologi
kepada siswa sebaiknya dapat memahami suatu konsep (Amin, 1994). Konsep
terbentuk bila dua atau lebih objek-objek yang dapat dibedakan atau
kejadian-kejadian/ situasi-situasi telah dikelompokkan bersama dan
terpisah dari obyek-objek atau kejadian-kejadian atau situasi-situasi
lain berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk dan sifatnya. Konsep merupakan
suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman (empiris)
tertentu dan relevan dan yang dapat digeneralisasikan (Amin, 1994).
Klasifikasi konsep dan sistem konseptual sangat penting karena isu-isu
mutakhir yang menantang para guru adalah mengenai konsep-konsep esensial
dan subkonsep-subkonsep apa yang harus diajarkan, dalam urutan atau
rangkaian yang bagaimana, dan kepada siapakah harus diajarkan sesuai
dengan minat, kebutuhan dan kemampuan siswa. Apa yang dimaksud disini
ialah cara penalaran untuk mengklasifikasikan konsep kedalam
kategori-kategori yang bermakna, dan cara untuk menghubungkan
kategori-kategori tersebut pada kemampuan intelektual para siswa
sehingga mereka tidak hanya memperoleh pengertian yang signifikan
tentang makna konsep, tetapi pengalaman belajar itu sendiri juga akan
membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
penalarannya. Konsep itu saling berhubungan satu sama lain dalam sistem
yang dinamik yang disebut sistem-sistem konseptual. Pengajaran sistem
konseptual dalam bidang biologi harus melibatkan urutan atau rangkaian
pengenalan tentang konsep-konsep biologi dalam cara yang bermakna dan
relevan. Salah satu strategi pengajaran sistem konseptual ini disebut
teknik pemetaan konsep. Tujuan teknik pemetaan konsep adalah untuk
memungkinkan guru dan siswa menjadi lebih kreatif dan ekspresif (Amin,
1994). Konstruksi peta konsep umumnya dibuat oleh guru yang
berpengalaman dan menguasai materi biologi yang utuh. Teknik pemetaan
konsep memberikan suatu hubungan penting antara teori belajar dan
mengajar, khususnya teori belajar dan mengajar biologi. Guru hendaknya
menyadari bahwa belajar biologi yang efektif dan bermakna itu dapat
dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah
terbentuk di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan
teknik pemetaan konsep dalam proses belajar mengajar biologi di kelas
dapat me-ngurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta
partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang bermakna (Amien,
1990). Bila siswa mengatahui bahwa mereka akan terlibat dalam suatu
kegiatan belajar seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih
besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan diri dalam proses
belajarnya sendiri. Strategi yang menggunakan peta konsep yang disiapkan
oleh guru berupa ekspositori dan berorientasi pada hasil (produk),
sedangkan strategi yang menggunakan peta konsep yang dibuat oleh siswa
berorientasi pada proses yang memusatkan pada penemuan siswa secara
individual atau kelompok (Amien, 1990). Menurut Ausubel (dalam Arifin,
1995) siswa mengasimilasi pelajaran di-lakukan dengan cara-cara seperti
pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Belajar Menurut Ausubel
Dimensi II Dimensi I Hafalan Bermakna Penerimaan Materi disajaikan
dalam bentuk final Siswa menghafal materi yang disajikan Materi
disajikan dalam bentuk final Siswa memasukan informasi kedalam struktur
kognitif Penemuan Materi ditemukan oleh siswa Siswa menghafal materi
Siswa menemukan materi Siswa memasukan informasi kedalam struktur
kognitif Selanjutnya Ausubel menjelaskan perbedaan antara belajar
bermakna dengan belajar hafalan, belajar bermakna merupakan suatu proses
dalam belajar yaitu informasi baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan
yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan belajar
secara hafalan terjadi jika siswa mempelajari konsep-konsep baru secara
semuanya dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah
diketahuinya. Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh
pemberitahuan yang bermakna. Menurut Ausubel dalam Amin (1990)
prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1)
materi yang akan diepalajari harus bermakna secara potensial yaitu
dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, dan (2) anak yang akan
belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna,
jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful
learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar
bermakna. Selanjutnhya kebermaknaan materi pelajaran secara potensial
tergantung pada dua faktor: (1) materi ini harus memiliki kebermaknaan
logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur
kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi
yang non-arbitrat dan substantif. Agar terjadi belajar bermakna, materi
pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk
memaukkan materi itu ke dala struktur kognitifnya, dan dalam struktur
kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan
atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif. Jika
salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun, dipelajari,
akan dipelajari secara hafalan (Rosser dalam Dahar, 1989). Sukmadinata
(2001) menyarankan agar pembelajaran dapat bermakna bagi siswa, maka ada
dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: pertama, suatu materi
memiliki kebermaknaan logis berarti materi tersebut dapat dihubungkan
dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa, maka siswa harus
memiliki materi yang sesuai dengan hal yang akan dipelajari. Bila siswa
dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai,
yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara secara
substantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki
kebermaknaan potensial. Kedua, sesuai dengan materi yang memiliki
kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, hal ini
sangat tergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak.
Apabila siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah
belajar bermakna (meaningful learning). Sedangkan Ausubel dan Novak
(dalam Susilo, 1987) menjelaskan cara belajar bermakna yang baik ialah
melalui subsumption yaitu dengan mengkaitkan konsep baru yang khusus ke
konsep lain yang lebih umum atau lebih inklusif, yang membentuk sebagian
dari struktur pengetahuan siswa saat itu, yaitu yang sudah ada dalam
ingatannya. Pada saat terjadi sub-sumption itu, struktur pengetahuan
siswa menjadi lebih terdiferensiasi, sehingga mempermudah terjadinya
asimilasi konsep-konsep lain yang lebih baru. Pembelajaran Hafalan
Pembelajaran hafalan ini merupakan kebalikan dari pada pembelajaran
bermakna. Pembelajaran hefalan ini selalu menekankan bahkan sering kali
lebih mengandalkan daya ingat saja terhadap sesuatu atau hal yang baru
saja di dengar atau yang telah dialami. Dalam hal ini pembelajaran
hafalan jarang bahkan tidak pernah mengkaitkat atau menghubungkan dengan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif. Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978:
132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e.,
as a series of arbitrarily related word, both the learning process and
the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Intinya,
jika seorang anak, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa
mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun
hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan
bermakna sama sekali baginya. Contoh yang dapat dikemukakan tentang
belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui 2 yang dapat
mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan
sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain untuk labih
dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan
rumus luas persegipanjang adalah l = pl, namun ia tidak bisa
menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang
l, p, dan l. Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar
membeo telah ditunjukkan Nani di mana jawaban yang benar, yaitu 1 + 1 =
2, diubah dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut pura-pura
dianggap sebagai jawaban yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani
tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi
meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya
tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak mustahil jika
ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru
seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu.
Kemudian manakah yang lebih untuk diterapkan dalam pembelajaran
matematika : Adalah Belajar bermakna dari pada belajar hafalan, karena
bisa kita simpulkan Pembelajaran bermakna membuat siswa lebih lama untuk
mengingat dengan materi yang telah dikuasainya dari pada pembelajaran
Hafalan. Pembelajaran Hafalan hanya membuat siswa ingat seketika saja
akan materi yang dikuasainya, seiring berjalanya waktu, itu semua akan
hilang dengan sendirinya, jadi lebih baik menerapkan Pembelajaran
Bermakna dari pada Pembelajaran Hafalan b. Berikan contoh implementasi
belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika? Contoh
implementasi belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika adalah
Kita mengajak siswa kelapangan tempat kejadian itu berlangsung,
contohnya kita mengajak siswa kepasar untuk mengamati proses jual beli,
hal ini untuk mengajarkan siswa dalam pembelajaran Aritmatika Sosial,
contohnya mengenai harga jual dan beli , diskon, untung dan rugi dan
lain-lainnya.
4. Teori
perkembangan intelektual siswa yang dikemukakan Jean Piaget dirasakan
sangat cocok untuk pengajaran matematika di sekolah, sebab teori Piaget
itu berhubungan dengan bagaimana siswa berfikir dan bagaimana berfikir
itu berubah sesuai dengan usianya.
a.
Implementasikan gagasan Piaget pada proses pembelajaran matematika di
sekolah sesuai dengan teori perkembangan itu sendiri! (Tidak dibenarkan
menggunakan implementasi pada makalah)
Implementasi gagasan piaget pada proses pembelajaran matematika
contohnya dalam pembelajaran matematika disekolah yaitu pada
pembelajaran Aljabar. Tingkatan-tingkatan belajar aljabar siswa dari
berada pada tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengalami
perkembangan yang bertahap, contohnya yaitu: Pada tingkat Sekolah Dasar
(SD) Siswa diajarkan pada tingkatan yang paling dasar tentang Aljabar,
yaitu berawal dari sekedar mengajarkan tentang pengenalan tentang angka
dan selanjutnya diajarkan tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian,
hingga pembagian dengan perumpamaan benda sekitar siswa yang bertujuan
agar siswa dapat cepat mengerti dan dapat mengerjakan soal dengan
mudah.
Contohnya:
3 Manggis + 5 Manggis = ...
19 Jeruk – 10 jeruk =...
27 Rambutan : 3 Rambutan =...
3 anggur × 3 anggur =...
Pada tingkatan SMP dan SMA : Ketika siswa berada di SMP
pembelajaran tentang aljabar akan lebih mendalam dibandingkan pada
tingkat SD, yaitu ketika pada tingkat SD pembelajaran yang dimulai
pengenalan angka dan samapai kepada pengerjaan soal yang diumpamakan
kepada benda yang mudah dimengerti oleh siswa berbeda dengan pada
tingkat SMP. Yaitu pada tingkat SMP angka yang akan dipelajari tidak
semudah pada tingkat SD, begitu juga pada tingkat SMA, pembelajaran
tentang aljabar yang diajarkan pada tingkat SMA lebih mendalam lagi
dibanding pada tingkat SD dan SMP. Pada tingkat SMP pembelajaran aljabar
menggunakan pengubah(Variabel).
Contohnya:
Pada Persamaan Linear satu Variabel:
a+6 = 8 ( a sebagai variabel)
5+6q=17 ( q sebagai variabel)
Pada Persamaan Linear Dua Variabel:
19a+10 b= 27
m+5n=30
Pada tingkat SMP telah belajar juga tentang penerapan sistem
persamaan linear dua variabel, contohnya kasus-kasus yang ada dalam
kehidupan sehari-hari yaitu yang berkaitan dengan aritmatika sosial.
Misalnya menentukan harga satuan barang, menentukan panjang atau lebar
sebidang tanah, dan lain sebagainya. Pada tingkat SMA, pembelajaran
aljabar akan lebih berkembang dan mendalam lagi, yaitu pada tingkat SMA
diajarkan tentang Sistem persamaan linear dan kuadrat (SPLK), Sistem dua
persamaan kuadrat (SDPK), Sistem persamaan dengan tiga variabel. Pada
tingkat Perguruan tinggi Pembelajaran aljabar pada tingkat perguruan
tinggi yaitu dengan pengulangan kembali pembelajaran yang telah di
ajarkan.
b. Apa yang dimaksud dengan asimilasi dan akomodasi? Berilah contoh dalam pembelajaran matematika!
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema
atau pola yang sudah ada dalam pikirannya,(penerapan informasi baru
dalam pikiran) Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu dalam
pembelajaran matematika tidak dipungkiri mempunyai banyak cara dalam
penyelesaiannya, dalam satu soal akan ada banyak rumus untuk
menyelesaikannya, oleh karena itu asimilasi dalam pembelajran matematika
yaitu cara sendiri untuk menjawab soal atau menggunakan logika
pemikiran sendiri dalam menyelesaikan soal tersebut. Akomodasi adalah
menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru atau
proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan
rangsangan baru atau memodifikasikan skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan yang ada. Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu
contohnya dalam mencari penyelesaian sisitem persamaan linear dua
variabel, kita ketahui bahwa cara mencari penyelesaian dari SPLDV
mempunyai berbagai cara, jadi terserah kita menggunakan cara yang mana,
asal tidak melenceng dari konsep yang telah ada.
5. Teori
perkembangan menurut Dewey yaitu mengaitkan bahan pelajaran dengan
situasi dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan yang dipelajari
dengan kehidupan sehari-hari, pengalaman sesungguhnya dan
penerapannya/manfaatnya. Implementasikan teori belajar Dewey pada salah
satu materi pembelajaran matematika dengan menggunakan salah satu
pendekatan yang kamu pilih dibawah ini:
a. Pendekatan pemecahan masalah.
b. Pendekatan Open Ended.
c. Pendekatan berbasis konstruktivisme.
d. Pendekatan matematika realistik.
e. Pendekatan kontekstual.
f. Pendekatan Problem Posing.
Sebelum mengimplementasikan, jelaskan secara singkat tentang pendekatan yang kamu pilih!
Pendekatan Kontekstual Definisi
pembelajaran kontekstual secara umum masih belum disepakati oleh para
ahli, tetapi tentang dasar dan unsur-unsur kuncinya lebih banyak yang
mereka sepakati. Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan Contextual
Teaching and Learning (CTL) memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu
sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi
pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa
peranan pendidik adalah membantu peserta didik menemukan makna dalam
pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa yang mereka peroleh
di dunia nyata dengan yang mereka pelajari di sekolah untuk kemudian
menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Dengan demikian, inti
pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai
sumber maupun terapan materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual
sebenarnya bukanlah ide baru. Pembelajaran tersebut berakar dari
filosofi yang dikembangkan oleh John Dewey yang mengemukakan bahwa
peserta didik akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya
dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif
belajar sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual, terdapat beberapa ciri,
yaitu:
a. Pembelajaran aktif: peserta didik diaktifkan untuk mengkontsruksi pengetahuan dan memecahkan masalah.
b. Multi
konteks: pembelajaran dalam konteks yang ganda akan memberikan peserta
didik pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan
mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang baru
(terjadi transfer).
c. Kerjasama
dan diskursus: peserta didik belajar dari orang lain melalui kerjasama,
diskursus (penjelasan-penjelasan) kerja tim dan mandiri (self
reflection).
d.
Berhubungan dengan dunia nyata: pembelajaran yang menghubungkan dengan
isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman di luar kelas dan
simulasi.
e.
Pengetahuan prasyarat: pengalaman awal peserta didik dan situasi
pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan nampak
sebagai dasar dalam pembelajaran.
f. Pemecahan
masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan
masalah nyata harus ditekankan pada kebermaknaan memorasi dan
pengulangan-pengulangan.
g.
Mengarahkan sendiri (self-direction): peserta didik ditantang dan
dimungkinkan untuk membuat pilihan-pilihan, mengembangkan
alternatif-laternatif, dan diarahkan sendiri. Dengan demikian mereka
bertanggung jawab sendiri dalam belajarnya (Aisyah, 2007). Menerapkan
CTL dalam suatu pembelajaran pada prisipnya sama saja dengan menciptakan
suatu pembelajaran yang menantang daya cipta siswa untuk menemukan
informasi baru dalam pembelajaran. Di dalam Depdiknas (2003) disebutkan
bahwa ada tujuh prinsip pembelajaran CTL, yaitu: (1) kontsruktivis
(constructivism), (2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4)
masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6)
refleksi (reflection) dan (7) penilaian yang sebenarnya (authentic
assestment). (1) Kontsruktivisme (Constructivism) Siswa membangun
pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan
pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar/tumpuan yang
digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pengalaman baru.
Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna.
(2) Penemuan (Inquiry) Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan induktif,
diawali dengan pengamatan dalam rangka memahami suatu konsep. Dalam
praktik, pembelajaran melewati siklus kegiatan mengamati, bertanya,
menganalisis, dan merumuskan teori, baik secara individual maupun secara
bersama-sama dengan temannya. Penemuan juga merupakan aktivitas untuk
mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berpikir kritis
siswa. (3) Bertanya (Questioning) Pertanyaan merupakan komponen penting
dalam pembelajaran kontekstual. Pertanyaan merupakan alat pembelajaran
bagi guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir
siswa. Pertanyaan juga digunakan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan
yang berbasis penemuan. (4) Masyarakat belajar (Learning Community)
Proses pembelajaran berlangsung dalam situasi sesama siswa saling
berbicara dan menyimak, berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja
sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran siswa aktif lebih
baik jika dibandingkan dengan belajar sendiri yang mendidik siswa untuk
menjadi individu yang egoistis. (5) Pemodelan (Modeling) Aktivitas guru
di kelas memiliki efek model bagi siswa. Jika guru mengajar dengan
berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran, secara tidak langsung
siswa pun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru tersebut.
Kondisi semacam ini akan banyak memberika manfaat bagi guru untuk
mengarahkan siswa melakukan sesuatu yang diinginkannya melalui
pendemonstrasian cara yang diinginkan tersebut. (6) Refleksi
(Reflection) Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan
tradisional adalah cara-cara berpikir tentang sesuatu yang telah
dipelajari oleh siswa. Dalam proses berpikir itu, siswa dapat merevisi
dan merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman mereka. (7) Penilaian
yang Sebenarnya (Authentic Assestment) Penilaian autentik ini bersifat
mengukur produk pembelajaran yang bervariasi, yaitu pengetahuan dan
keterampilan serta sikap siswa. Penilaian ini juga tidak hanya melihat
produk akhir, tetapi juga prosesnya. Instruksi dan
pertanyaan-pertanyaannya disusun yang kontekstual dan relevan.
6.
Dienes menterjemahkan ide-ide matematika ke dalam "permainan".
Siswa-siswa menguasai ide-ide matematika melalui permainan. Desainlah
sebuah permainan matematika yang berguna untuk mengajarkan sebuah konsep
metematika sehingga siswa-siswa dapat menguasai konsep matematika
tersebut!
Berikut adalah sebuah permainan yang bisa saya kemukakan
berdasarkan sumber yang saya dapat untuk membantu mengajarkan sebuah
konsep matematika sehingga siswa-siswi dapat menguasai konsep matematika
yang dipelajarinya tersebut Seorang guru menyuruh tiap murid menuliskan
hitungan sesuai dengan suruhannya tanpa mengatakan apa yang
dihitungnya. Suruhan tersebut adalah demikian. “Tulislah bilangan banyak
adikmu”
“Tambah itu dengan tiga”
“Kalikan dua”
“Sekali lagi, kalikan enam.”
“Sekarang, bagi empat”
“Terakhir, kurangi delapan”
Kemudian guru bertanya kepada Budi.
Guru : “Berapa hasil akhir yang kamu peroleh?”
Budi : “Sepuluh.”
Guru : “Jadi adikmu tiga orang, bukan?”
Budi : “Ya, Bu.”
Semua anak yang menyebutkan hasil akhir hitungannya dapat
ditebak dengan benar jumlah adik masing-masing oleh Guru. Contoh
tersebut merupakan permainan. Hal seperti itu disenangi oleh anak-anak.
Yang pertama jawabnya bermacam-macam, asal alasannya dapat diterima.
Permainan matematika adalah suatu kegiatan yang menggembirakan yang
dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional pengamatan matematika.
Tujuan ini dapat menyangkut aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.
Walaupun permainan matematika menyenangkan, penggunaannya harus dibatsi.
Barangkali sekali-kali dapat juga diberikan untuk mengisi waktu,
mengubah suasana yang tegang / “tekanan tinggi”, menimbulkan minat, dan
sejenisnya. Seharusnya direncanakan dengan tujuan instruksional yang
jelas, tepat penggunaannya, dan tepat pula waktunya. Permainan yang
mengandung nilai-nilai matematika dapat meningkatkan keterampilan,
penanaman konsep, pemahaman, dan pemantapannya; meningkatkan kemampuan
menemukan, memecahkan masalah, dan lain-lainnya. Yang begini harus
banyak dipakai, terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. Ketika
anak-anak mulai belajar koordinat, permainan yang menyangkut koordinat
dapat diberikan.
7. Teori
Van Hiele mengemukakan bahwa dalam belajar Geometri, seseorang akan
melalui lima tingkatan hirarkis (Visualization, analysis, abstraction,
deduction, rigor). Siswa yang didukung dengan pembelajaran yang tepat,
akan melewati lima tingkatan tersebut, dimana siswa tidak dapat mencapai
satu tingkatan pemikiran tanpa melewati tingkatan sebelumnya. Setiap
tingkatan menunjukkan kemampuan berfikir yang digunakan seseorang dalam
belajar konsep geometri. Jelaskan lima tingkatan tersebut dan
implementasikan setiap tingkatan ke dalam konsep geometri! Tingkat
(Visualization). Tingkat ini sering disebut pengenalan(recognition).
Pada tahap ini, siswa sudah mengenal konsep -konsep dasar
geometri yaitu bangun-bangun yang sederhana seperti persegi, segitiga,
persegi panjang, jajar genjang dan lain -lain. Siswa mengenal suatu
bangun geometri sebagai keseluruhan berdasarkan pertimbangan visual, ia
belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri itu.
Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, seorang siswa
sudah mengenal persegi dengan baik, bila ia sudah bisa menunjukkan atau
memilih persegi dari tumpukan benda-benda geometri lainnya. Dalam
tingkat ini, siswa tidak akan bisa menjawab pertanyaan -pertanyaan
mengenai sifat-sifat persegi, bahwa persegi itu: semua sisinya sama
panjang, ked ua diagonalnya sama panjang dan satu sama lain tegak lurus,
dan lain-lain. Siswa pada tingkat ini tidak dapat dipaksakan untuk
memahami sifat-sifat konsep geometri. Sebab bila dipaksakan, maka
sifat-sifat konsep geometri yang diberikan itu akan diterima melalui
hafalan. Tingkat (Analisis). Pada tingkat ini, siswa sudah memahami
sifat –sifat konsep atau bangun geometri berdasarkan analisis informal
tentang bagian dan atribut komponennya. Implementasinya kedalam Konsep
Geometri adalah : Misalnya, siswa sudah mengetahui dan mengenal sisi
–sisi berhadapan sebuah persegipanjang adalah sama panjang, panjang
kedua diagonalnya sama panjang dan memotong satu sama lain sama panjang.
Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun -bangun geometri,
misalnya persegi adalah juga persegi panjang, pe rsegipanjang adalah
juga jajargenjang. Tingkat (Abstraction). Tingkat ini sering disebut
juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal (informal deduction).
Pada tahap ini, siswa mengurut secara logis sifat-sifat konsep,
membentuk definisi abstrak dan dapat membedakan himpunan sifat-sifat
yang merupakan syarat perlu dan cukup dalam menentukan suatu konsep.
Jadi, pada tingkat ini siswa sudah memahami pengurutan bangun-bangun
geometri, Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : misalnya
persegi adalah juga persegipanjang, persegipanjang adalah juga jaja
rgenjang, persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah juga
jajargenjang. Walaupun begitu, siswa pada tingkat ini berpikir secara
deduktif informal. Karena itu dalam mengenal bahwa panjang kedua
diagonal persegi panjang sama, mungkin ia belum dapat menjelaskannya
mengapa sama panjang. Tingkat (Deduction). Pada tingkat ini, berpikir
deduktif siswa sudah mulai berkembang, tetapi belum berkembang dengan
baik. Dapat memahami pentingnya penalaran deduksi. Geometri adalah ilmu
deduktif. Karena itu pengambilan kesimpulan, pembuktian teorema, dan
lain -lain harus dilakukan secara deduktif. Implementasinya kedalam
Konsep Geometri adalah : Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa jumlah
sudut –sudut sebuah segitiga adalah 1800; hal ini belum tuntas bila
hanya dengan cara induktif, misalnya dengan memotong-motong sudut-sudut
benda segitiga dan menunjukkan bahwa ketiga sudutnya itu membentuk
sebuah sudut lurus. Tetapi harus membuktikannya secara deduktif,
misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pada tingkat ini, siswa
sudah dapat memahami pentingnya un surunsur yang tidak didefinisikan
(undefined terms), aksioma, definisi dan teorema. Walaupun ia belum bisa
mengerti mengapa sesuatu itu dijadikan aksioma atau teorema. Tingkat
(Rigor). Pada tingkat ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya
ketepatan dari apa-apa yang mendasar. Implementasinya kedalam Konsep
Geometri adalah : Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang
menyebabkan terjadi geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri
Euclides dan apa itu geometri non -Euclides. Tingkat ini merupakan
tingkat berpikir yang kedalamannya serupa d engan yang dimiliki oleh
seorang ahli matematika.
8.
Selama kamu menjalani pendidikan di tingkat sekolah dasar dan tingkat
sekolah menengah, kamu pasti pernah mengalami kendala-kendala dalam
belajar matematika terutama dalam menyelesaikan soal, yang mengakibatkan
kegagalan atau setidak-tidaknya menjadikan gangguan dalam kemajuan
belajar matematika. Kemukakanlah!
a.
Penyebab kesulitan belajar matematika yang kamu hadapi! Apa langkah yang
kamu ambil untuk mengatasi kesulitan belajar yang kamu hadapi!
Penyebab kesulitan belajar matematika yang saya hadapi
adalah ketika saya duduk dibangku SMP , saya lupa akan rumus-rumus
mengenai bangun datar seperti limas kerucut dan sebagainya dikarenakan
pada waktu saya duduk di bangku SD saya hanya menerapkan pembelajaran
hafalan, bukan lah pembelajaran bermakna, akibatnya dalam waktu yang
sebentar saja , materi yang dulu pernah saya kuasai, menjadi lupa dengan
sendirinya. Untuk itu saya memikirikan bagaimana mengantisipasi, yaitu
dengan mengubah pola pembelajaran matematika dari pembelajaran hafalan
ke pembelajaran bermakna, Alhamdulillah pembelajaran ini berfungsi untuk
diri saya, sampai saya duduk dibangku kuliah, saya tetap menerapkan
pembelajaran bermakna
b.
Sebagai calon guru yang akan terjun langsung ke dunia pendidikan.
Apabila kamu telah menjadi seorang guru, bagaimana teknik mendiagnosis
kesulitan belajar siswa? Apa langkah-langkah yang dapat diambil guru
dalam mengatasi kesulitan belajar siswa? Implementasikan langkah-langkah
tersebut ke dalam materi matematika!
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil guru dalam mengatasi
kesulitan belajar siswa yaitu seorang guru terlebih dahulu harus
memahami factor kesulitan yang dialami oleh siswa , diantara factor
berikut serta mengatasi adalah sebagai berikut: Setiap guru mendambakan
para siswanya dapat belajar dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah
demikian. Sehingga guru mungkin pernah menemui atau mengalami beberapa
siswa yang selalu membikin ulah, selalu mengacau, rendah diri, malas,
lambat menghafal, ataupun membenci mata pelajaran IPA, Matematika,
ataupun Bahasa Inggris. Di sisi lain ada siswa yang biasa ceria tetapi
dengan tiba-tiba saja menjadi murung dan malas belajar. Pertanyaan yang
mungkin muncul adalah, mengapa hal seperti itu dapat terjadi?
Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami hal-hal
yang menyebabkan ia tidak dapat belajar atau melakukan kegiatan selama
proses pembelajaran sedang berlangsung. Mungkin juga, si siswa dapat
belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang
berlangsung, namun tidak maksimal. Faktor penyebabnya dapat berasal dari
dalam diri si anak sendiri dan dapat juga dari luar. Pada contoh
pertama, seorang anak mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh
faktor penglihatan yang kurang baik, sedangkan pada contoh kedua,
hambatan belajar tersebut lebih disebabkan oleh faktor kejiwaan pada
diri anak tersbut. Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson
(1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab kesulitan
tersebut, di antaranya:
1. FAKTOR
FISIOLOGIS Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa
ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun
bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang
paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem
syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali
informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak beres pada
bagian tertentu dari otak seorang siswa, maka dengan sendirinya si siswa
akan mengalami kesulitan belajar. Bayangkan kalau sistem syaraf atau
otak anak kita karena sesuatu dan lain hal kurang berfungsi secara
sempurna. Akibatnya ia akan mengalami hambatan ketika belajar. Di
samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik
pendengaran, penglihatan ataupun pengucapannya sedikit banyak akan
menghadapi kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk
membantu siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang
berkait dengan kesulitan siswa ini. Seorang siswa dengan pendengaran
ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di
bagian depan. Untuk para orang tua, terutama ibu, makanan selama masa
kehamilan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
putra-putrinya . Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem
syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian
para orang tua.
2. FAKTOR
SOSIAL Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang
tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap
kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan
bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang
tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar
yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat
sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh
hati. Sebagai contoh, orang tua yang sering menyatakan bahwa Bahasa
Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan
anaknya unutuk belajar bahasa pergaulan internasional itu. Kalau ia
tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah Bapak saya tidak
bisa juga.” Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya
mata pelajaran tertentu di depan siswanya. Tetangga yang mengatakan
sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang
selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orang tua yang selalu
marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi
anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor
sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa. Intinya,
lingkungan di sekitar siswa harus dapat membantu mereka untuk belajar
semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti
ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa
ini untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan
kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi siswa berkemampuan
baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan
cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau
tidak sengaja, dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran
orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari pengaruh negatif
masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para siswa
untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan.
3. FAKTOR
KEJIWAAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini
berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk
belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak
suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata
pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami
kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari
faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar. Contoh lain adalah
siswa yang rendah diri, siswa yang ditinggalkan orang yang paling
disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi
proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu
mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut.
Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran
biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut.
Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah
bagaimana membantu siswanya sehingga mereka dapat mempelajari setiap
materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang
diberikan seorang guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar,
namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran
tersebut. Dapat juga terjadi, si siswa lalu membenci sama sekali mata
pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi,
tentunya akan sangat merugikan si siswa tersebut. Peran guru memang
sangat menentukan. Seorang siswa yang pada hari kemarinnya hanya mampu
mengerjakan 3 dari 10 soal dengan benar, lalu dua hari kemudian ia hanya
mampu mengerjakan 4 dari 10 soal dengan benar, gurunya harus menghargai
kemajuan tersebut. Guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja,
namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini,
diharapkan si siswa akan lebih berusaha lagi. Intinya, tindakan seorang
guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Tindakan tersebut
dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik, namun dapat juga
menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar suatu mata
pelajaran.
4. FAKTOR
INTELEKTUAL Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa
ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat
kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai
tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghafal
sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang
tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit
membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi
faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping
itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak
memiliki pengetahuan prasyarat. Ketika sedang belajar matematika atau
IPA, ada siswa SLTP yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) +
9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan
karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari
matematika ataupun IPA SLTP. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau
Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan
prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan
lebih baik.
5. FAKTOR
KEPENDIDIKAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa
ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru
yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa
untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan
hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa,
sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu,
adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya
akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasar
penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan
adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil
dalam proses pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai
dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan
sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang
menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu
dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi seperti ditinggal
saudara kandung tersayang ataupun karena faktor fisiologis seperti
pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu
mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha
untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan
belajar siswa sangat tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab
kesulitan tersebut. Sebagai contoh, siswa A yang memiliki kesulitan
karena penglihatan atau pendengaran yang kurang sempurna hanya dapat
dibantu dengan alat optik atau alat elektronik tertentu dan mereka
diharuskan duduk di bangku depan. Namun para siswa yang mengalami
kesulitan belajar karena faktor lingkungan dan faktor emosi tidak
memerlukan kacamata seperti yang dibutuhkan siswa A namun mereka
membutuhkan bantuan dan motivasi lebih dari gurunya. Pengalaman sebagai
guru telah menunjukkan bahwa ada siswa yang sering membuat ulah di kelas
dengan maksud agar diperhatikan guru dan temannya. Setelah diselidiki
ternyata ia kurang mendapat perhatian orang tuanya. Untuk anak seperti
ini, sudah seharusnya para guru lebih memberikan perhatian dan kasih
sayang. Sekali lagi, kesabaran, ketekunan dan ketelatenan para guru
sangat diharapkan di dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan
belajar. Guru dapat menyarankan orang tua siswa tertentu untuk memberi
tambahan pelajaran khusus di sore hari untuk siswa yang lamban. Yang
lebih penting dan sangat menentukan adalah peran guru pemandu, kepala
sekolah, pengawas maupun Kepala Kantor Depdiknas di dalam menangani
kesulitan belajar siswa yang disebabkan oleh faktor-faktor kependidikan.
Pada akhirnya penulis meyakini bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar ini akan sangat bermafaat bagi Bapak dan Ibu
Guru. Dengan membaca tulisan ini, diharapkan para guru akan mengetahui,
selanjutnya dapat menggunakan pengetahuan tersebut dalam PBM terutama
ketika ia sedang mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Pada akhirnya,
mudah-mudahan usaha setiap jajaran Depdiknas untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa akan berhasil dengan gemilang.